Search

Breaking News

Arja Tak Jadi Mati, Dari Diskusi Kawiya Bali di Ajang PKB Ke-47


Cybernewsindonesia.id | Denpasar – Arja, seni dramatari khas Bali, ternyata masih berdenyut. Meski sempat naik-turun popularitasnya, Arja diyakini tak akan mati. Yang nyaris mati, justru dananya. “Arja tetap hidup, tapi nggak ada uang,” celetuk salah satu peserta diskusi, mengundang tawa.

Diskusi bertajuk “Arja Tak Jadi Mati” disajikan secara kolaborasi oleh Komunitas Seni Kawiya Bali dan Sanggar Gamelan Suling Gita Semara Peliatan Ubud pada Selasa, (24 /6/2025) di Gedung Ksirarnawa, Art Center Denpasar. Sajian ini sebagai bagian dari rangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47. Empat pembicara lintas latar hadir untuk mengulas napas panjang Arja yang terus menyala—meski sering harus ditiup-tiup.

Rektor UPMI Bali, Prof. Dr. I Made Suarta, meyakinkan bahwa sepanjang Bali masih Hindu dan menjaga adatnya, Arja takkan punah. “Penonton boleh berkurang, tapi jiwanya tetap hidup,” ujarnya.

Arja memang bukan anak kemarin sore. Dikenal sejak 1814 di Klungkung, berkembang di Singapadu, Sibang, dan Jembrana, Arja bahkan pernah berjaya di radio lewat RRI Denpasar. Kini, tak hanya sebagai hiburan, Arja pun hadir dalam upacara sakral seperti nedunang sesuhunan.

 Denpasar menyebut Arja sebagai seni tingkat dewa. “Arja itu paket lengkap: sastra, pupuh, filsafat, tari, gamelan. Dan harus spontan. Sulit, tapi itulah keindahannya,” katanya. Ia berharap RRI tetap menjadi ruang hidup Arja.

I Wayan Sudiarsa dari Sanggar Gita Semara Peliatan juga masih setia manggung. Bahkan saat pandemi, mereka tetap pentas dengan konsep Arja Lingsar di Pura Desa Adat Ubud. Arja ini dikemas minimalis, namun tetap memegang teguh pakem tradisi.

Sementara jurnalis budaya Made Adnyana Ole menyoroti soal tantangan zaman. “Dulu Arja nyaris punah karena penari perempuan menikah. Tapi lahir Arja muani, dan Arja Bon menyelamatkan,” ujarnya.

Ole juga menantang dunia Arja masuk ke ranah digital. “Kenapa tidak bikin Arja 1 menit? Untuk TikTok, Reels, YouTube Shorts. Cepat tapi tetap nendang,” tantangnya.

Sebelum diskusi Sanggar Gita Semara Ubud mementasan Arja Lingsar yang disajikan duduk bersila, kostum sederhana, namun sarat makna. Lakon “Ruwat Gumi” menggambarkan keresahan Bali di tengah modernitas dan pariwisata, sembari memohon harmonisasi semesta.

Pertunjukan ini juga menyatukan kekuatan tiga elemen kesenian Bali: Arja, Sanghyang, dan Gambuh. Gending “Cihna Angga” jadi puncak emosional, menggambarkan tokoh Rangda secara simbolis dari kepala hingga kaki.

Jadi, Arja tak akan mati. Cuma mungkin perlu pulsa, kuota, dan sokongan dana agar bisa terus bersuara di zaman serba digital.

(David)
©Copyright 2023 -cybernewsindonesia.id