Pemalang, cybernewsindonesia.id
Tim awak media berkunjung ke gedung DPRD Kabupaten Pemalang dengan maksud menggali pandangan dari pihak legislatif terkait upaya penanganan lokalisasi prostitusi di daerah ini. Saat ditemui di ruang kerjanya, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pemalang, Aris Ismail, S.A.P (Fraksi Golkar), menyampaikan pandangannya:
"Dalam kegiatan operasi Satpol PP terhadap warung remang-remang (warung kesek-kesek), seharusnya dilakukan melalui pendekatan manusiawi (humanis). Mereka bisa dipanggil, diberikan arahan, binaan, mungkin juga pembinaan sosial — mengapa hanya ‘Al Salam’ saja yang ditekan, sedangkan banyak tempat lain seperti café besar atau warung pinggir jalan di Pantura justru tak tersentuh? Jika Pemkab Pemalang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan pembinaan terhadap wanita tuna susila (WTS) di daerahnya, sebaiknya berkoordinasi dengan DPRD agar disiapkan anggaran untuk pembinaan. Tidak semua orang ingin menjadi pelacur, pemandu lagu (PL), open BO, atau melakukan “Mi Chat”. Jangan hanya menghina, merendahkan, atau mencemooh mereka—mereka juga bagian dari keluarga dan ada hak asasi yang harus dihormati.
Dalam UUD juga ditegaskan bahwa mereka (rakyat miskin dan tidak mampu) bahkan kesehatan atau kesejahteraannya dapat dibiayai negara — tetapi kenapa penanganannya sering seperti terhadap teroris atau maling, dengan menggedor pintu dan memukul-mukul? Itu sangat disayangkan.”
Tim media menyampaikan terima kasih kepada Wakil Ketua DPRD atas kesediaannya mendengarkan suara masyarakat kecil yang merasa belum mendapat keadilan. “Mengapa tempat hiburan malam lain berjamur di Kabupaten Pemalang, tetapi ‘Al Salam’ selalu menjadi sasaran penindakan? Semoga DPRD dalam menjalankan fungsi pengawas dan legislasi (termasuk fungsi yudikatif pengawasan) diberi kemudahan, kelancaran, dan kesehatan. Amin.”
Catatan Regulasi & Dasar Hukum
Berikut regulasi utama yang mengatur penanggulangan prostitusi di Kabupaten Pemalang dan secara nasional:
Peraturan Daerah Pemalang
Perda Kabupaten Pemalang Nomor 12 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Pelacuran — ini adalah payung hukum lokal dalam menangani praktik prostitusi di Pemalang.
Dalam pelaksanaannya, razia terhadap PSK (wanita tuna susila) acap dilakukan dengan landasan perda ini. Misalnya, di razia tanggal 7 Oktober 2025, delapan wanita diamankan berdasarkan penegakan Perda No. 12/2019, kemudian dibawa untuk asesmen di Dinas Sosial dan kemungkinan dirujuk ke Panti Pelayanan Sosial di Surakarta.
Juga terdapat kejadian operasi penegakan perda sebelumnya (Mei 2024), di mana Satpol PP mengamankan 9 orang yang dituduh melakukan prostitusi berdasarkan Pasal 18 jo Pasal 13 Perda No. 12/2019.
Regulasi Nasional & Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
– Pasal 296 melarang siapa saja yang memfasilitasi atau menjadi perantara prostitusi.
– Pasal 506 menjerat mucikari atau pihak yang menarik keuntungan dari kegiatan prostitusi.
– Namun, hal yang masih menjadi “kekosongan hukum” (gap normatif) adalah bahwa KUHP belum secara jelas mengatur pidana kepada pekerja seks komersial (PSK) atau pengguna jasa prostitusi, sehingga praktik prostitusi yang dilakukan sendiri oleh individu sulit dipidana berdasarkan KUHP saja.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP baru) — peraturan baru ini mulai berlaku dan memperbarui sebagian aturan pidana, walaupun belum secara spesifik mengatur prostitusi sebagai kejahatan tersendiri.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) — prostitusi dapat dikaitkan sebagai bentuk eksploitasi seksual apabila melibatkan perekrutan, penipuan, penampungan atau pemaksaan.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi & UU ITE (UU No. 11 Tahun 2008, diubah oleh UU No. 19 Tahun 2016) — iklan atau promosi layanan prostitusi online dapat dikategorikan sebagai konten yang melanggar kesusilaan dan dapat dikenakan sanksi berdasarkan regulasi tersebut.
Menurut penyuluhan hukum pemerintah, mucikari bisa dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 296 KUHP (pidana maksimum 1 tahun 4 bulan atau denda) dan Pasal 506 KUHP (pidana kurungan maksimum 1 tahun). Sedangkan pengguna jasa prostitusi dapat dikenai Pasal 284 KUHP (perzinahan) dalam kasus tertentu. Juga, promosi prostitusi melalui media elektronik bisa dijerat UU Pornografi dan UU ITE.
Kaperwil Jateng, M. Imam